PENGALAMAN DARA DI SEKOLAH BARU

 



Oleh:
Siti Hajar

Saya akan menceritakan pengalaman mengasuh Dara (13 tahun), seorang anak yang didiagnosis dengan Cerebral Palsy (CP) ringan. Dara adalah keponakan saya. Saya mulai mengasuhnya sejak usianya dua tahun empat bulan. Hal ini membuat saya menyadari bahwa tanggung jawab orang tua tidak hanya sebatas memberi makan dan menyekolahkan anak hingga mereka memiliki pengetahuan. Lebih dari itu, mendidik anak agar memiliki keterampilan dasar hidup untuk mandiri adalah hal yang sangat penting.

Keterampilan seperti mandi, berpakaian, dan menggunakan toilet tanpa bantuan harus diajarkan sebelum anak berusia lima tahun. Setelah itu, tugas orang tua adalah membangun kekuatan mental anak untuk menghadapi dunia.

Hal ini tentu lebih mudah bagi anak-anak normal. Namun, berbeda jika anak yang Allah titipkan kepada kita adalah anak istimewa atau anak berkebutuhan khusus. Anak dengan kondisi tertentu memerlukan perjuangan lebih untuk belajar berbagai hal yang dibutuhkannya dalam hidup.

Dara, beruntungnya, saat ini sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. Sejak usia 11 tahun atau saat kelas lima SD, ia sudah mampu mencuci pakaiannya sendiri. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin terlihat kejam, mengingat kondisi Dara. Namun, Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dengan capaian Dara saat ini. Ia telah berhasil melewati tantangan itu. Berat? Tentu saja. Di awal, hasil cucian Dara dengan tangan dan sikat memang belum bersih. Namun, seiring waktu, ia melakukannya dengan lebih baik.

Saya masih ingat hari pertama saya mengantar Dara ke sekolah SMP, enam bulan lalu. Ia menangis karena belum memiliki teman dan tidak ada guru yang menyambutnya dengan sapaan hangat seperti yang biasa ia dapatkan saat di TK dan SD.

Pagi itu, saya melihat Dara berdiri sendiri di samping tiang bendera dengan ekspresi yang sulit diartikan. Saya memintanya untuk bergabung dengan teman-teman barunya, meskipun dalam hati saya merasa sedih dan bingung apa yang harus dilakukan. Saya sadar, saya tidak bisa mengatasi masalah ini sendirian. Dara harus membiasakan diri dengan keadaan baru ini—tanpa sapaan hangat dari teman dan guru-gurunya seperti di sekolah sebelumnya.

Tidak lama kemudian, saya mendekati salah satu guru PPL dan memintanya untuk membantu Dara bergabung dengan teman-teman barunya. Guru tersebut mengangguk, dan saya pun kembali ke tempat parkir motor dengan hati yang berat. Saya meninggalkan Dara yang menangis dengan air mata bercampur keringat dan ingus membasahi kerudungnya. Hasrat untuk memeluknya dan membawanya pulang sangat besar, tetapi saya menahan diri.

Sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, air mata saya terus berderai, bahkan lebih deras dibanding tangisan Dara. Saya mulai bertanya-tanya, apakah saya salah memilih sekolah umum untuk Dara, seorang anak berkebutuhan khusus? Apakah saya terlalu memaksakan keinginan saya tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengannya? Apakah saya harus mencari sekolah lain?

Hari itu, saya menunggu pukul 12.00 tiba, waktu untuk menjemput Dara selama tiga hari masa orientasi sekolah (MOS). Selama menunggu, saya terus khawatir, bertanya-tanya apakah Dara mengalami perundungan atau kesulitan lainnya. Bagaimana teman-teman dan gurunya memperlakukan Dara dengan jalannya yang timpang dan penampilan yang masih berantakan pagi itu?

Namun, ketika saya menjemput Dara di gerbang sekolah, ia tersenyum. Tidak ada bekas penderitaan seperti yang saya bayangkan. Dara bercerita bahwa ada teman yang mau berteman dengannya. Betapa lega dan bahagianya saya mendengar itu.

Perlahan tapi pasti, Dara mulai merasa nyaman di sekolah barunya. Saya semakin tenang saat ia mulai asyik mengerjakan tugas-tugas sekolah, bahkan kadang melewati waktu tidur siang atau bermain bersama teman-teman. Saya pun yakin bahwa ini adalah sekolah yang tepat untuk Dara, dan semoga ia bisa menyelesaikan pendidikannya di sana.

Ketika ditanya mengapa saya menyekolahkan Dara di sekolah umum, padahal ia adalah anak berkebutuhan khusus, ada dua alasan utama. Pertama, saya harus jujur bahwa saya tidak mampu membayar biaya masuk sekolah swasta yang cukup tinggi, meskipun sekolah swasta mungkin menawarkan banyak kemudahan untuk anak seperti Dara. Kedua, saya ingin Dara merasakan dunia nyata yang berbeda dari lingkungan TK dan SD-nya dulu.

Sekolah Dara saat ini berada di pinggiran Aceh Besar, dengan siswa dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Sebagian besar penduduk di daerah tersebut adalah perantau, sehingga pola asuh dan karakter anak-anaknya pun beragam. Saya ingin Dara belajar menghadapi perbedaan itu.

Benar saja, baru beberapa hari di sekolah, Dara mulai bercerita tentang teman-temannya yang melanggar aturan, seperti membawa HP ke sekolah, membolos pelajaran, merokok di belakang kamar mandi, hingga menggunakan bahasa yang tidak pantas. Sebagian temannya bahkan sudah mulai dekat dengan teman lawan jenis, yang bagi saya sangat mengkhawatirkan.

Kami terus mengingatkan Dara untuk tidak ikut-ikutan dan menjauh dari perilaku negatif teman-temannya. Kami berharap teman-temannya yang belum taat aturan itu akan berubah menjadi lebih baik ke depannya.

Satu semester telah berlalu, dan Dara berhasil melewati berbagai tantangan di sekolahnya. Ada rasa sedih, senang, marah, kecewa, dan bahagia yang ia alami di sana. Bukan hanya Dara yang bahagia, saya pun merasa bangga. Saya selalu mengingatkan Dara untuk bersyukur atas segala kemudahan yang Allah berikan kepadanya. Ke depan, tantangan yang ia hadapi mungkin akan lebih besar, tetapi saya percaya Dara mampu menghadapinya. []

Lebih baru Lebih lama